CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Jumat, 29 Februari 2008

Media, Keberpihakan, Jawa-Bali

Heboh banget ya Jawa-Bali dengan krisis listriknya, semua media, cetak, elektronik, ngebahas masalah ituuu terus sampe bosan, padahal matinya cuma sekitar 4 jam, udah ribut.

V ceritain ya.. perbedaan pembangunan pulau Jawa-Bali dengan pulau lainnya di Indonesia misalnya Sumatra-v berasal dari Riau. Tahun 1996, waktu itu v udah kelas tiga smp, v ikut papa n mama v pulang kampung, nama daerahnya Lubuk Muda, termasuk desa di Kabupaten Bengkalis. Atau kalo dilihat buku pintar, letaknya dekat dengan Sungai Pakning. Daerah Lubuk Muda n Pakning itu penghasil minyak, yang dikelola oleh Pertamina, tapi yang namanya listrik tidak menyentuh masyarakat kampung Lubuk Muda dan sekitarnya, herankan? Padahal sumber energi (minyak) penggerak mesin disel listrik berasal dari kampung situ. Masyarakat kampung papa v itu sehari2nya hidup tanpa listrik (24 jam) n kalau malam pake lampu minyak atau lilin, atau kalau lumayan kaya pake mesin jenset. Bagaimana masyarakat ngerti dengan berbagai kejadian di Indonesia sementara listrik ga ada. Apalagi rice cooker, dispenser, kulkas, tv, ga ada yang ngerti. Contohnya tante v yang tinggal di kampung, dia ngerti dengan berbagai alat2 yang v sebutin, tapi ga mungkin beli secara ga bisa dipakai, percuma dong.. Nah waktu itu masyarakatnya bertahan dan ga manja. Pastinya ga jadi bahan berita di berbagai media tuh, karena apa? Bukan di Jawa-Bali.

Sekarang sih udah ada listrik tapi cuma malam aja, kalo siang sama sekali ga ada aliran listrik, v ga tau alasannya apa. Bagaimana proses belajar mengajar disana bisa maksimal? Sementara di pulau jawa atau bali listrik diperoleh 24 jam, dan sekolah2 menggunakan berbagai fasilitas tambahan misalnya komputer yang tentu saja pake listrik.

Lain lagi dengan Pekanbaru, ini ibukota provinsi lho, provinsi Riau yang terkenal sebagai penghasil minyak terbesar di Indonesia, tapi tetep aja hampir tiap hari listrik mati. Biasanya dari jam 9 pagi sampai jam 5 sore. Atau sering juga tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kalo malam2, yang bikin bete kalo lagi bulan puasa n jam buka atau sahur, bikin bad mood, alat2 yang menggunakan energi listrik juga cepat rusak gara2 bolak balik mati idup mati idup kaya gitu. V bandingin dengan jogja, tiap hari listrik 24 jam, ga pernah mati. Kalopun listrik nya mati juga dengan dengan alasan yang wajar, misalnya hujan lebat plus angin ribut atau petir-kilat. Pernah ga sih listrik mati di Riau jadi berita? Sama sekali ga pernah. Paling cuma di koran atau media lokal.

Sekarang v mo cerita tentang jalan yang rusak. Kemarin di berbagai media ribut dengan jalur Pantura yang di beberapa ruas jalan mengalami kerusakan. Bandingin dong dengan lintas Sumatra yang jalannya rusak parah, lubang di jalan yang udah gede banget, untuk melewatinya supir bis harus sangat berhati2, kadang lubang di jalan uma di lapisi papan yang lumayan kuat, biar bis atau kendaraan lainnya bisa lewat, terlebih lagi jarak antara provinsi satu dengan provinsi lainnya membutuhkan waktu yang lama di perjalanan, Lampung sampai dengan Aceh kurang lebih empat hari perjalanan, beda dengan pulau jawa yang Jakarta-Jogja bisa ditempuh dalam 12 jam. Tapi rusaknya jalan lintas Sumatra tidak pernah membuat media meributkan hal tersebut. hhhh mengecewakan,.

Pulau Sumatra dan berbagai pulau lainnya kecuali Jawa-Bali, diambil berbagai sumber daya alam yang dimilikinya dan hasilnya di bawa ke Jawa-Bali untuk kesejahteraan masyarakat di pulau tersebut, sementara penghasil sumber daya tidak diperhatikan, jalan dibiarin rusak, listrik di daerah tidak di perhatikan, mati lampu 24 jam berhari2 udah jadi makanan hampir tiap hari tapi ga masuk media apapun, bahkan media pun menganakemaskan Pulau Jawa-Bali


Note. Buat masyarakat Jawa n Bali, ga usah manja d, jalan cuma rusak dikit aja udah diberitain dengan hebohnya, listrik cuma mati 4 jam aja udah ribut. Coba d untuk lebih struggle menghadapi apapun, toh ga semenderita rakyat di luar Jawa-Bali.

Mati Lampu Lagi-Perbaikan Kabel

Lampu mati lagi, dari jam 9 s.d 4 sore, jadi dari pada ga ngapa2in, v nge-net lagi d di kampus, sekalian nyari bahan big paper. Tapi yang bikin sebel banget temen v sekelas di ppa-rizal- ngedownload sampai ngabisin bandwidth jadinya ga bisa dengan leluasa buka website, ngecek email aja lamaaaaaaaaaa banget.


Orang yang kaya gini ni yang nyebelin banget, ga toleransi ama temen2nya atau anak2 pengen make fasilitas kampus. Bete d.


Si rizal ini lagi ngedownload program2 nya Macintos (bener ga sih tulisannya(?)) jadi laptopnya walaupun merknya Acer tapi programnya pake Apple punya, terus nanti dia jual2in d program itu ke anak2 yang minat. Keren sih idenya tapi mbok ya jangan pake fasilitas kampus, modal dikit dong.. udah punya duit ini dari hasil jualan illegal program.

Selasa, 19 Februari 2008

BeTEee

Mati lampu di kosan hiks... secara v mau belajar buat ujian yang bikin pusing tujuh keliling eh lampunya mati. Gimana ga sebel. Tagihan listrik aja dinaikin per Maret 2008, tapi ga ada benefit yang bisa masyarakat ambil, cost nya mulu yang dinaikin terus dibebankan ke masyarakat.

Kalo mati lampunya karena hujan yang lebat banget atau angin kencang, v masih mengerti, tapi kalo listrik tiba2 mati ga ada angin atau hujan, dari tadi malam jam setengah sembilan sampe sekarang gimana coba? ga bisa ngapa2in. mau baca buku gelap banget, tapi karena darurat mau ga mau v belajar juga. Repotnya lagi kalo baterai hp abis, ntar hp nya mati, wah mama v yang puyeng ga bisa hub anak2nya-mama v tiap hari nelpon satu sampe empat kali sehari-hehehe Anak2 di rumah yang lain juga bete, soalnya keabisan air buat mandi, jadinya pada mandi koboi he..

Solusinya, v ke kampus. Walaupun ga ada kuliah, tetep keukeuh ke kampus, biar bisa ngecas hp, n nge-net hihihi

Jumat, 15 Februari 2008

Ga Produktif

Sampe pertengahan bulan ini v cuma baru nulis satu? waw... ga produktip ni.. idenya banyak banget yang berseliweran di kepala v tapi v tidak menyempatkan diri untuk menulis (baca: mengetik).

Tugas kuliah lagi ga ada, cuma lagi belajar untuk satu test yang mudah2an mengubah hidup v di masa depan. v ga berani berharap banyak, secara yang ikut test sampe 5000-an orang, tapi berusaha juga ga ada salahnya kan? v udah berusaha bersikap santai menghadapi test ini, tapi ga ternyata sampe kebawa2 tidur, mimpi buruk melulu hihihi repot d jadi orang kaya v. kalo istilah dari papa, v itu "darah gemuruh" artinya suka gugup menghadapi sesuatu, ujung-ujungnya ceroboh. males d... mudah2an aja ga kaya gitu.

Semoga v bisa menjalani test dengan baik, aaamiiiiinnn

Rabu, 06 Februari 2008

MiRIs

Tulisan ini v ambil dari Harian Kompas Selasa, 5 Februari 2008.

Beban Rakyat Miskin: Mereka Mengurangi Jatah Makan agar Tetap Hidup


Sembari bercucuran peluh, Mbah Semi yang berusia sekitar 60 tahun, setapak demi setapak menaiki tangga Pasar Beringharjo, Yogyakarta. Sorot matanya memancarkan rasa lelah selepas mengangkut karung berisi berbagai kebutuhan pokok seberat 20 kilogram.


Buruh gendong asal Gamping, Sleman, ini kemudian kembali duduk di tepi tangga sambil meneguk segelas teh manis. “Soalnya kalau siang saya tidak makan, jadi gantinya hanya minum teh ini saja, kalau ndak nanti saya lemas,” ujar Semi dengan badan gemetar.


Keadaan tersebut hanya sekelumit kisah Semi akibat dampak kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok belakangan ini. Semi mengubah pola makannya demi bertahan hidup. “Dulu bisa tiga kali makan, sekarang paling banyak hanya dua kali,” ucap perempuan yang sudah menjadi buruh gendong sejak tahun 1953 ini.


Semi mengaku hanya makan ketika pagi hari, begitu sampai pasar dan setelah pulang dari pasar (sore hari), sesampainya di rumah.


Selain harus mengubah pola makan, Semi pun juga harus mengganti menu makannya. “sebelum harga2 pada naik, saya biasa sarapan menggunakan nasi, sayur, tempe atau tahu. Namun setelah harga pada naik, saya tidak berani lagi makan dengan tempe atau tahu. Cukup makan nasi pakai sayur saja,” tutur Semi sambil tersenyum miris. Untuk sarapan nasi dan sayur, Semi perlu menyisihkan Rp2000. Padahal, sekitar sebulan yang lalu, ia bisa makan nasi, sayur beserta tempe atau tahu goreng dengan mengeluarkan uang dalam jumlah yang sama. “Tempe gorengnya sendiri saja sudah Rp500. Lebih baik saya makan pakai sayur saja,” tutur Semi.


Dengan berpenghasilan sekitar Rp10.000-Rp15.000 per hari, Semi menghabiskan Rp7000 untuk ongkos transportasi menggunakan bus dan Rp2000 untuk sarapan. Untuk itu, dia berani makan hingga dua kali di pasar ini. “Nanti saya tidak bisa bawa uang ke rumah,” ujarnya.


Semi mendapatkan upah sekitar Rp1000-Rp3000 per sekali angkut barang. “Tergantung berat karungnya dan jauh jarak tempuhnya”, ujar Semi. Paling banyak dalam sehari, ia hanya mengangkut hingga tujuh kali. Uang yang dia bawa pulang ke rumah pun hanya cukup untuk belanja kebutuhan pokok sehari2. “Paling sekitar Rp5000.” Seringkali demi mencukupi kebutuhan sekhari2, Semi terpaksa pinjam uang dengan kerabatnya.


Menghadapi situasi semacam ini, Semi tidak punya pilihan lain kecuali menyesuaikan diri. Ia pun berharap segera terjadi perubahan terhadap berbagai kesulitan ekonomi yang membelitnya.


Kenaikan harga sekarang ini sungguh membebani rakyat miskin. Segala penderitaan ditengah serba kekurangan. Mau dibawa kemana sekarang Indonesia ini?

Jumat, 01 Februari 2008

TEmpE

Beberapa waktu yang lalu, pada saat harga kedelai sedang tinggiii banget (sekarang juga masih..), sebagian besar masyarakat mengalami kesulitan membeli tempe, selain tempe yang tiba2 menghilang dari pasar atau kalo ada juga harganya berkali2 lipat. Misalnya, harga tempe yang kecil dibungkus pake daun pisang atau koran biasanya dengan uang Rp1000 dapat sepuluh (@ Rp100) sekarang jadi @ Rp250, atau tempe yang satu batangnya dulu Rp2500 tiba2 jadi Rp3000-3500. Otomatis kalo mau makan tempe harus mengeluarkan uang minimal 2x lipat dari yang biasanya, atau mengurangi konsumsi tempe, yang biasanya tiap hari ada tersedia di meja makan.

Buat v dampaknya lumayan, budget uang belanja makan v tiap harinya jadi nambah, karena ternyata naiknya kedelai menimbulkan efek domino, diikuti dengan naiknya harga minyak goreng, apalagi minyak goreng yang selama ini v pakai dibuat dari kedelai, makin bengkak d budget v.

Suatu kali v ga sengaja nonton Kroscek di TransTV, ceritanya artis2 ditanyain pengaruh kenaikan harga tempe dengan mereka, v lupa siapa aja tapi yang v ingat banget waktu yang ditanyain itu Ronal Ekstravaganza n Sogi Ekstravaganza, pada saat ditanya tentang pengaruh naiknya harga tempe keduanya menjawab “ ga ada pengaruh sama sekali dengan gue, harga kedelai emang sedang naik mau diapakan lagi?” (kurang lebih jawabannya seperti itu). Saat itu v beteee banget dengernya, dalam pikiran v “ya iiyalah ga ada pengaruh buat mereka, secara per episode ekstravaganza mereka mungin dapat duit lumayan besar, belum lagi acara2 off air lainnya, presenter acara di sana-sini, jadi ya wajar aja sama sekali ga terpengaruh dengan harga tempe yang sekarang mahal.” Tapi coba d satu kali aja liat ke bawah, ke masyarakat yang punya penghasilan menengah ke bawah, menu sehari2 pasti tempe, entah itu goreng tempe, kering tempe, oseng2 tempe, lodeh tempe, atau menu lain yang isinya tempe, karena harga tempe lebih murah, sangat terjangkau. Selain murah, tempe atau tahu juga sumber protein, sumber gizi bagi mereka, yang ga bisa mereka peroleh dari telur, daging ayam atau daging sapi karena mereka ga mampu membelinya. Contoh konkrit v ada, mbak yang nolongin dirumah (mbak Pon) menu tiap harinya mesti tempe, di oseng, di lodeh, dibikin kering tempe, plus sayur, atau kalo mau agak mewah sekali-kali dadar telur, sekaleng sarden aja yang harganya Rp7500 yang selama ini v anggap murah ternyata bagi mbak Pon dianggap mahal karena ga cukup untuk sampai makan malam, lain halnya dengan tempe yang dengan harga Rp1000 dapat 10, cukup menyediakan uang Rp3000, dapat banyak tempe untuk makan satu hari. Mbak Pon dan keluarganya makan daging sapi cuma kalo Lebaran Idul Adha karena dapat daging kurban, atau makan daging ayam kalau ada tetangga yang ngadain acara nikahan dan mabk Pon dimintai ngerewang (bantu2 masak). Nah dengan harga tempe @ Rp250 dan budget Rp 3000 untuk beli tempe jadinya 12 tempe, jauh lebih sedikit dari jumlah yang biasa dibeli. Belum lagi dengan pabrik2 tempe, yang merupakan usaha kecil tiba2 harus gulung tikar karena ga kuat lagi untuk membeli kedelai yang merupakan bahan utama tempe.

Satu waktu juga Bayu pernah cerita waktu salah seorang menteri negara kita yang terkait dengan masalah pertempean di Indonesia ini diwawancara tentang kenaikan harga tempe jawabannya “ya mau gimana lagi, harga kedelai emang sedang naik” Baaah jawaban apa pula itu… ga perlu jadi doktor kalo cuma bisa kasi jawaban tolol macam itu. Tidak memberikan solusi sama sekali. Padahal masyarakat menderita, diteror dari berbagai sisi, minyak tanah mahal, beras mahal, minyak goreng mahal, telur mahal, sampai tempe pun mahal. Gimana menjadikan masyarakat Indonesia menjadi lebih baik, sementara satu2nya sumber gizi yang murah yang mampu dibeli oleh masyarakat berpenghasilan menengah kebawah juga udah langka?? Ga heran di Indonesia banyak balita menderita gizi buruk.

Hidup Indonesia!